Cerita ini mengisahkan seorang pembantu
(batur) di sebuah kadipaten. Pembantu itu bernama Suta. Tugas utama Suta
adalah merawat kuda milik sang Adipati. Selesai mengerjakan tugasnya
biasanya Suta berjalan-jalan di sekitar kadipaten. Maksudnya untuk lebih
mengenal tempat kerja yang baru baginya.
Suatu sore
ketika ia sedang berjalan-jalan di sekitar tempat pemandian, ia
dikejutkan oleh jertian seorang wanita. Suta segera mencari arah jeritan
tadi. Akhirnya ia tiba di dekat sebuah pohon besar. Dilihatnya putri
adipati menjerit-jerit di bawah pohon itu. Di dekatnya, seekor ular
raksasa menggelantung, mulutnya menganga siap menelan putri tersebut.
Suta sendiri sebenarnya takut melihat ular sebesar itu. Namun ia sangat
kasihan melihat sang putri yang pucat dan ketakutan. Timbul
keberaniannya untuk membunuh ular tersebut. Diambilnya bambu yang cukup
besar, dipukulnya kepala ular itu berkali-kali. Ular tadi
menggeliat-geliat kesakitan, tak lama kemudian ular itu diam tak
bergerak. Mati.
“Terima kasih, Kang Suta. Kamu telah menyelamatkan jiwaku.”
“Itu sudah menjadi tugas saya. Apalagi hamba ini abdi Sang Adipati, ayah Tuan Putri,” sahut Suta.
Kemudian Sang Putri dan Suta pergi
meninggalkan tempat itu menuju kadipaten. Sejak kejadian itu Sang Putri
semakin akrab dengan Suta. Bahkan keduanya punya rencana mengikat
hubungan itu dalam suatu pernikahan. Rencana itu diketahui sang Adipati,
maka marah sang Adipati.
“Dia hanya seorang batur! Kamu seorang raden, putri Adipati. Kamu tidak boleh menikah dengan batur itu!”
Sang Putri sangat sedih mendengar
kata-kata ayahnya. Apalagi dia mendengar kabar bahwa Suta dimasukkan
penjara bawah tanah. Kesalahannya karena berani melamar putri sang
Adipati. Di dalam penjara ternyata Suta tidak diberi makan atau minum,
bahkan ruang penjara itu digenangi air setinggi pinggang suta. Akibatnya
Suta terserang penyakit demam. Mendengar kabar ke-adaan Suta yang
semacam itu, Sang Putri bertekad membebaskan Suta.
“Emban, aku harus bisa membebaskan Kang
Suta. Kasihan dia, dahulu dia telah menolong aku. Aku berutang nyawa
kepadanya. Bantulah aku, Emban,” kata Putri pada pengasuhnya.
Emban itu mengetahui perasaan putri
kepada Suta. Dia juga iba mendengar Suta yang mulai sakit di penjara.
Maka, emban itu diam-diam menyelinap ke penjara bawah tanah. Dia
membebaskan Suta dan membawa ke suatu tempat. Di situ Sang Putri telah
menunggu dengan seekor kuda. Sang Putri pergi bersama Suta dengan
menunggang kuda tersebut. Dalam perjalanan, keduanya menyamar sebagai
orang desa, sehingga tidak dikenali orang lagi.
Setelah melakukan perjalan cukup jauh,
sampailah keduanya di tepi sebuah sungai. Mereka beristirahat sejenak.
Putri merawat Suta yang masih sakit. Berkat kesabaran dan perawatan Sang
Putri, Suta akhirnya sembuh. Mereka kemudian menikah dan hidup menetap
di tempat tersebut. Tempat itu kemudian disebut Baturaden. Batur artinya
pembantu, raden artinya keturunan bangsawan. Baturaden sampai sekarang
menjadi tempat wisata yang menarik. Terletak di kaki Gunung Slamet di
daerah Purwokerto, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar